KEKUATAN TIDAK DATANG DARI KEMAMPUAN FIZIKAL TETAPI IANYA DATANG DARI SEMANGAT YANG TIDAK PERNAH MENGALAH. BERUSAHA MENCARI DAN MENAMBAH ILMU BUKANNYA MENGHARAPKAN APA YANG ADA.

Tuesday, 24 September 2013

DISKALKULIA............MASALAH MEMAHAMI KONSEP MATEMATIK

Diskalkulia adalah gangguan belajar yang mempengaruhi kemampuan matematika. Seseorang dengan diskalkulia sering mengalami kesulitanmemecahkan masalah matematika dan menangkap konsep-konsep dasar aritmatika.
Dyscalculia adalah ketidakmampuan searing anak dalam menyerap konsep aritmatika. Aturan yang digunakan untuk pendidikan khusus diskalkulia beragam dari negara ke negara. Pada awal penilaiannya, siswa akan mengalami kesulitan yang terlihat signifikan dalam aritmatika, lalu baru dapat ditegakkan diagnosisnya dengan melalui serangkain tes, sebelum pada akhirnya akan diberikan pengajaran khusus. Siswa dengan gejala diskalkulia ini sulit di diagnosis terutama mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah Negri, dikarenakan lemahnya stander pengukuran kerangka kerjadan kriteria
Sebagian besar, orang yang mengalami diskalkulia atau kesulitan dalam Matematika mempunyai kesulitan dalam proses visual. Pada beberapa kasus, pada bagian pemrosesan dan pengurutan, matematika memerlukan seperangkat prosedur yang harus diikuti dalam pol a yang urut, hal ini juga berkaitan dengan kurangnya memory (memory deficits). Mereka yang mengalami kesulitan mengingat benda-benda/angka, akan mengalami kesulitan mengingat urutan operasi (order of operations) yang harus diikuti atau langkah-langkah pengurutan tertentu yang harus diambil untuk memecahkan soal-soal matematika.
Diskalkulia dikenal juga dengan istilah “math difficulty” karena menyangkut gangguan pada kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat ditinjau secara kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting) dan mengkalkulasi (calculating). Anak yang bersangkutan akan menunjukkan kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Hal ini biasanya ditandai dengan munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas yang melibatkan angka ataupun simbol matematis.
Gangguan Belajar Gangguan Belajar (Learning Disorder) adalah suatu gangguan neurologis yang mempengaruhi kemampuan untuk menerima, memproses, menganalisis atau menyimpan informasi. Anak dengan Gangguan Belajar mungkin mempunyai tingkat intelegensia yang sama atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan teman sebayanya, tetapi seringberjuang untuk belajar secepat orang di sekitar mereka. Masalah yang terkait dengan kesehatan mental dan gangguan belajar yaitu kesulitan dalam membaca, menulis, mengeja, mengingat, penalaran, serta keterampilan motorik dan masalah dalam matematika.
Pengertian gangguan belajar secara bahasa adalah masalah yang dapat mempengaruhi kemampuan otak dalam menerima, memproses, menganalisis dan menyimpan informasi. Sedangkan pengertian yang diberikan oleh National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) mengenai gangguan belajar adalah suatu kumpulan dengan bermacam-macam gangguan yang mengakibatkan kesulitan dalam mendengar, berbicara, menulis, menganalisis, dan memecahkan persoalan.
Gangguan belajar termasuk klasifikasi beberapa gangguan fungsi di mana seseorang memiliki kesulitan belajar dengan cara yang khas, biasanya disebabkan oleh faktor yang tidak diketahui. Istilah Ketidakmampuan belajar dan gangguan belajar sering digunakan secara bergantian, keduanya berbeda. Ketidakmampuan belajar adalah ketika seseorang memiliki masalah belajar yang signifikan di bidang akademis. Masalah-masalah ini, bagaimanapun, tidak cukup untuk menjamin diagnosis resmi. Gangguan belajar, di sisi lain, adalah diagnosis klinis resmi, dimana individu memenuhi kriteria tertentu, sebagaimana ditentukan oleh seorang profesional (psikolog, dokter anak, dll) Perbedaannya adalah dalam tingkat, frekuensi, dan intensitas gejala yang dilaporkan dan masalah, dan dengan demikian keduanya tidak boleh bingung.
Faktor yang tidak diketahui adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otak untuk menerima dan memproses informasi. Gangguan ini bisa membuat masalah bagi seseorang untuk belajar dengan cepat atau dalam cara yang sama seperti seseorang yang tidak terpengaruh oleh ketidakmampuan belajar. Orang dengan ketidakmampuan belajar mengalami kesulitan melakukan jenis tertentu keterampilan atau menyelesaikan tugas jika dibiarkan mencari hal-hal dengan sendirinya atau jika diajarkan dengan cara konvensional.
Diskalkulia
Anak-anak dengan gangguan belajar biasanya terjadi pada usia sekolah dasar. Seringkali, gangguan belajar matematika (MD) dikaitkan dengan gangguan membaca (RD), meskipun gangguan belajar matematika adalah melihat kemudian karena pengaruh bahasa yang menyerap dalam kehidupan sehari-hari. Gangguan belajar matematika sering kali tidak disadari sampai anak mulai sekolah.
Penyebab
Sebuah banyak jalur perkembangan menyatu ketika anak berusaha untuk memahami dan menerapkan matematika di sekolah. Seiring waktu, tuntutan kurikulum matematika memaksakan ketegangan meningkat pada perkembangan sistem saraf dan membedakan. Levine dan ‘rekan-16 subkomponen Model membantu memperjelas penyebab masalah melakukan matematika dan membantu mengevaluasi gangguan belajar matematika subkomponennya dari model meliputi.:
Belajar fakta
  • Hampir semua prosedur matematika melibatkan tubuh mendasari kodrat faktual. Fakta matematika meliputi tabel perkalian, penambahan dan pengurangan sederhana, dan berbagai equivalencies numerik.
  • Tahap awal pembelajaran matematika sekolah dasar umumnya menempatkan ketergantungan pada memori hafalan sebagai seorang anak berusaha untuk menggabungkan volume besar dari fakta-fakta matematika. Setelah fakta-fakta yang hafal, anak kemudian harus terlibat dalam pengambilan konvergen, fakta harus ingat tepatnya pada permintaan.
  • Seorang siswa SD kemudian harus maju ke recall sepenuhnya otomatis dari fakta-fakta matematika. Misalnya, saat melakukan masalah aljabar, mahasiswa diwajibkan untuk mengingat prinsip-prinsip penambahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian akurat dan detail yang tepat
  • Siswa SD yang menghadapi kesulitan adalah mereka yang memiliki masalah pada awalnya menghafal fakta-fakta matematika, mereka yang berbeda, pola tepat memori pengambilan, dan mereka yang memiliki kesulitan mengingat fakta-fakta matematika, yang memperlambat kemampuan mereka untuk menghitung. Siswa-siswa ini kemudian mengalami kesulitan dengan masalah yang lebih canggih pemecahan, sehingga prestasi matematika di tingkat sekolah menengah.
Memahami rincian
  • Matematika perhitungan sarat dengan detail halus (misalnya, urutan nomor di lokasi, masalah yang tepat dari, tanda desimal operasional yang tepat [+, -]) terdiri dari jantung masalah matematika. Perhatian yang tinggi terhadap detail diperlukan seluruh operasi matematika.
  • Anak-anak yang paling mungkin untuk menghadapi masalah dengan perhitungan matematika di tingkat ini adalah mereka yang memiliki defisit perhatian dan mereka yang impulsif dan kurangnya pemantauan diri.
  • Seorang mahasiswa dengan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) mungkin muncul untuk memahami fakta-fakta, tetapi kurangnya bahwa siswa perhatian terhadap detail menciptakan kinerja keseluruhan miskin.
Menguasai prosedur
  • Selain fakta menguasai matematika, seorang siswa harus mampu mengingat prosedur tertentu (misalnya, algoritma matematika). Algoritma ini meliputi proses yang terlibat dalam perkalian, pembagian, pengurangan pecahan, dan regrouping.
  • Sebuah pemahaman yang baik tentang logika yang mendasari mereka meningkatkan recall dari prosedur tersebut.
  • Pada tingkat fungsi, anak-anak dengan masalah sequencing mengalami kesulitan yang signifikan mengakses dan menerapkan algoritma matematika.
Menggunakan manipulasi
  • Dengan bertambahnya pengalaman dan keterampilan, usia sekolah anak harus dapat memanipulasi fakta, detail, dan prosedur untuk memecahkan masalah matematika yang lebih kompleks, sebuah proses yang membutuhkan mengintegrasikan beberapa fakta dan prosedur dalam tugas pemecahan masalah yang sama.
  • Tindakan manipulasi membutuhkan sejumlah besar pemikiran-ruang atau aktif-kerja memori. Misalnya, pemecahan masalah sering membutuhkan siswa untuk mengingat nomor dan menggunakannya nanti. Siswa harus dapat memahami mengapa mereka menggunakan nomor dan kemudian menggunakannya. Siswa juga harus mampu memanipulasi subkomponen tugas.
  • Siswa dengan terbatas aktif bekerja mengalami kesulitan memori yang cukup menggunakan manipulasi.
Mengenali pola
  • Matematika menghadapkan siswa dengan berbagai macam pola berulang. Pola dapat terdiri dari kata kunci atau frase yang terus-menerus muncul dari masalah kata dan menghasilkan petunjuk penting tentang prosedur yang diperlukan.
  • Siswa sering harus mampu membuang perbedaan superfisial dan mengenali pola yang mendasari, sebuah proses yang menciptakan masalah bagi siswa dengan cacat pengenalan pola.
Berkaitan dengan kata-kata
  • Tanpa pertanyaan, penguasaan matematika membutuhkan akuisisi kosakata matematika yang agak tangguh (misalnya, denominator, pembilang, sama kaki, sama sisi). Sebagian besar kosakata ini bukan bagian dari percakapan sehari-hari dan, karenanya, harus dipelajari tanpa bantuan petunjuk kontekstual.
  • Anak-anak yang lambat memproses kata-kata dan yang lemah dalam semantik bahasa goyah pada tingkat ini.
Menganalisis kalimat
  • Bahasa matematika adalah unik dalam arti bahwa seorang siswa diharapkan dapat menarik kesimpulan dari masalah kata dinyatakan dalam kalimat. Kalimat pemahaman yang tajam dan pengetahuan kosakata matematika diperlukan untuk memahami penjelasan dari buku-buku dan instruktur.
  • Anak-anak dengan cacat bahasa mungkin merasa bingung dan bingung dengan instruksi lisan dan oleh tugas tertulis dan tes.
Pengolahan gambar
  • Materi pelajaran matematika banyak disajikan dalam gambar dan dalam format visual-spasial. Geometri membutuhkan interpretasi tajam perbedaan dalam bentuk, ukuran, proporsi, hubungan kuantitatif, dan pengukuran.
  • Siswa juga harus mampu menghubungkan bahasa dan angka, sedangkan trapesium persyaratan dan persegi harus membangkitkan pola desain dalam pikiran siswa.
  • Anak-anak dengan kelemahan dalam persepsi visual dan memori visual mungkin mengalami kesulitan dengan subkomponen matematika.
Melakukan proses logis
  • Pada tingkat sekolah menengah, penggunaan proses logis dan meningkatkan penalaran proporsional. Firman masalah (misalnya, jika … kemudian, baik … atau) membutuhkan penalaran yang cukup dan logika. Konsep-konsep ini juga digunakan dalam mata pelajaran lain seperti kimia dan fisika.
  • Anak-anak yang tertinggal dalam memperoleh keterampilan penalaran proposisional dan proporsional mungkin kurang mampu melakukan perhitungan langsung dan masalah kata yang penalaran permintaan. Siswa-siswa ini secara berlebihan dapat mengandalkan memori hafalan.
Memperkirakan solusi
  • Bagian penting dari proses penalaran, dan masalah bagi anak-anak kurang keterampilan ini, adalah kemampuan untuk memperkirakan jawaban atas masalah.
  • Kemampuan untuk memperkirakan solusi untuk masalah matematika sering menunjukkan pemahaman anak tentang konsep-konsep yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
Konseptualisasi dan menghubungkan
  • Memahami konsep membentuk dasar dari masalah matematika beberapa (misalnya, 2 sisi persamaan harus sama, pecahan dan persentase sering sama).
  • Anak-anak dengan kemampuan konseptualisasi miskin sering mengalami kesulitan dalam matematika sekolah menengah, mereka mungkin tidak dapat menghubungkan konsep dan hanya memiliki pengetahuan yang terpisah-pisah matematika yang berlaku.
Mendekati masalah sistematis
Kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan kompleks yang memerlukan pendekatan strategis yang sistematis, yang melibatkan langkah-langkah berikut: • Mengidentifikasi pertanyaan
• Buang informasi yang tidak relevan
• Merancang strategi yang mungkin
• Pilih strategi terbaik
• Cobalah strategi yang
• Gunakan strategi alternatif, jika diperlukan
• Memantau seluruh proses
Impulsif anak yang gagal untuk menggunakan pendekatan yang sistematis dan tidak diri-monitor seluruh proses tidak mungkin untuk melakukan tugas dengan cara, terkoordinasi eksekutif berfungsi.
Mengumpulkan kemampuan
  • Matematika sangat kumulatif. Sebuah hirarki pengetahuan dan keterampilan harus dibangun dari waktu ke waktu. Informasi yang dipelajari di kelas yang lebih rendah harus dipertahankan untuk penggunaan masa depan. Siswa dapat menghargai teorema Pythagoras hanya sebatas bahwa mereka mengingat definisi segitiga siku-siku.
  • Beberapa anak tampaknya mengalami kesulitan mengembangkan memori kumulatif dan recall. Mereka mungkin memiliki masalah dalam mata pelajaran lain selain matematika yang juga memerlukan recall kumulatif (misalnya, ilmu pengetahuan, bahasa asing).
Menerapkan pengetahuan
  • Anak-anak harus mampu mewujudkan relevansi matematika untuk belajar dan digunakan dalam sehari-hari kehidupan.
  • Siswa dapat memahami relevansi ini mungkin menemukan matematika alien atau tidak relevan.
Kecemasan
  • Kekhawatiran, kecemasan, atau fobia adalah komplikasi umum dari cacat dalam matematika.
  • Reaksi-reaksi ini dapat disebabkan oleh salah satu cacat di atas atau mungkin berakar dalam ketakutan penghinaan diulang di kelas.
Memiliki ketertarikan untuk subjek
  • Beberapa anak memiliki afinitas alami untuk matematika. Anak-anak ini mungkin memiliki model peran yang kuat dengan afinitas untuk matematika, atau anak-anak sendiri memiliki kemampuan konseptualisasi yang kuat.
  • Siswa dengan hubungan alamiah untuk matematika mungkin sangat menyadari kohesi subyek dan dapat melihat keindahan matematika ‘dan keanggunan.
Subkomponen Matematika dan fungsi perkembangan saraf utama masing-masing membutuhkan
  • Fakta – Menghafal, memori pengambilan
  • Detail – Perhatian, memori pengambilan
  • Prosedur – Konseptualisasi, sequencing recall prosedural
  • Manipulasi – Konseptualisasi, active-kerja memori
  • Pola – Konseptualisasi, pengakuan memori
  • Kata – Bahasa, konseptualisasi, memori verbal
  • Kalimat – konseptualisasi Bahasa
  • Gambar – pengolahan Visual, memori pengambilan visual yang
  • Logical proses – keterampilan Penalaran, keterampilan prosedural
  • Memperkirakan – Perhatian (yaitu, perencanaan, pratinjau keterampilan), konseptualisasi nonverbal dan verbal
  • Konsep – konsep nonverbal dan verbal
Beberapa bentuk ketidakmampuan belajar tidak dapat disembuhkan. Namun, dengan tepat kognitif / akademik intervensi, ternyata dapat diatasi. Individu dengan ketidakmampuan belajar dapat menghadapi tantangan unik yang sering meresap selama kehidupan.. Tergantung pada jenis dan tingkat keparahan kecacatan, intervensi dapat digunakan untuk membantu individu mempelajari strategi yang akan mendorong kesuksesan di masa mendatang. Beberapa intervensi bisa sangat sederhana, sementara yang lain yang rumit dan kompleks. Guru dan orang tua akan menjadi bagian dari intervensi dalam hal bagaimana mereka membantu individu dalam berhasil menyelesaikan tugas yang berbeda. Psikolog sekolah cukup sering membantu untuk merancang intervensi, dan mengkoordinasikan pelaksanaan intervensi dengan guru dan orang tua. Dukungan sosial meningkatkan pembelajaran bagi siswa dengan ketidakmampuan belajar.
Hal ini tidak berarti anak memiliki tingkat kecerdasan yang rendah. Untuk mengetahui apakah anak sedang mengalami kesulitan dalam belajar bisa dilihat dari waktu yang dibutuhkan dalam memahami suatu persoalan di buku. Dan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan otak anak dalam mengalahkan kesulitan belajarnya bisa dilihat dari hasil tes IQnya.
Anak-anak dengan Learning Disorder yang tidak di terapi, akan mempengaruhi kepercayaan diri mereka. Mereka berusaha lebih daripada teman-teman mereka, tetapi tidak mendapatkan pujian atau reward dari guru atau orang tua. Demikian pula, Learning Disorderyang tidak di terapi dapat menyebabkan penderitaan psikologis yang besar untuk orang dewasa.
Kesulitan belajar matematika merupakan salah satu jenis kesulitan belajar yang spesifik dengan prasyarat rata-rata normal atau sedikit dibawah rata-rata, tidak ada gangguan penglihatan atau pendengaran, tidak ada gangguan emosional primer, atau lingkungan yang kurang menunjang. masalah yang dihadapi yaitu sulit melakukan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian yang disebabkab adanya gangguan pada sistem saraf pusatpada periode perkembangan. Anak berkesulitan belajar matematika bukan tidak mampu belajar, tetapi mengalami kesulitan tertentu yang menjadikannya tidak siap belajar. Matematika sering menjadi pelajaran yang paling ditakuti di sekolah. Anak dengan gangguan diskalkulia disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam membaca, imajinasi, mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman, terutama dalam memahami soal-soal cerita. Anak-anak diskalkulia tidak bisa mencerna sebuah fenomena yang masih abstrak. Biasanya sesuatu yang abstrak itu harus divisualisasikan atau dibuat konkret, baru mereka bisa mencerna. selain itu anak berkesulitan belajar matematika dikarenakan pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar siswa, metode pembelajaran yang cenderung menggunakan cara konvesional, ceramah dan tugas. Guru kurang mampu memotivasi anak didiknya. Ketidaktepatan dalam memberikan pendekatan atau strategi pembelajaran.
Tanda dan gejala Diskalkulia
  • Proses penglihatan atau visual lemah dan bermasalah dengan spasial (kemampuan memahami bangun ruang). Dia juga kesulitan memasukkan angka-angka pada kolom yang tepat.
  • Kesulitan dalam mengurutkan, misalkan saat diminta menyebutkan urutan angka. Kebingungan menentukan sisi kiri dan kanan, serta disorientasi waktu (bingung antara masa lampau dan masa depan).
  • Bingung membedakan dua angka yang bentuknya hampir sama,misalkan angka 7 dan 9, atau angka 3 dan 8. Beberapa anak juga ada yang kesulitan menggunakan kalkulator.
  • Umumnya anak-anak diskalkulia memiliki kemampuan bahasa yang normal (baik verbal, membaca, menulis atau mengingat kalimat yang tertulis).
  • Kesulitan memahami konsep waktu dan arah.Akibatnya,sering kali mereka datang terlambat ke sekolah atau ke suatu acara.
  • Salah dalam mengingat atau menyebutkan kembali nama orang.
  • Memberikan jawaban yang berubah-ubah (inkonsisten) saat diberi pertanyaan penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian. Orang dengan diskalkulia tidak bisa merencanakan keuangannya dengan baik dan biasanya hanya berpikir tentang keuangan jangka pendek.Terkadang dia cemas ketika harus bertransaksi yang melibatkan uang (misalkan di kasir).
  • Kesulitan membaca angka-angka pada jam, atau dalam menentukan letak seperti lokasi sebuah negara, kota, jalan dan sebagainya.
  • Sulit memahami not-not dalam pelajaran musik atau kesulitan dalam memainkan alat musik. Koordinasi gerak tubuhnya juga buruk, misalkan saat diminta mengikuti gerakan-gerakan dalam aerobik dan menari. Dia juga kesulitan mengingat skor dalam pertandingan olahraga.
Deteksi Dini Diskalkulia
Deteksi diskalkulia bisa dilakukan sejak kecil, tapi juga disesuaikan dengan perkembangan usia.
  • Anak usia 4- 5 tahun biasanya belum diwajibkan mengenal konsep jumlah, hanya konsep hitungan
  • Anak usia 6 tahun ke atas umumnya sudah mulai dikenalkan dengan konsep jumlah yang menggunakan simbol seperti penambahan (+) dan pengurangan (-). Jika pada usia 6 tahun anak sulit mengenali konsep jumlah, maka kemungkinan nantinya dia akan mengalami kesulitan berhitung. Proses berhitung melibatkan pola pikir serta kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah.
Faktor genetik mungkin berperan pada kasus diskalkulia, tapi faktor lingkungan dan simulasi juga bisa ikut menentukan. Alat peraga juga sangat bagus untuk digunakan, karena dalam matematika menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak. Jadi, supaya lebih konkret digunakan alat peraga sehingga anak lebih mudah mengenal konsep matematika itu sendiri.
Penanganan Diskalkulia
  • Penanganan Gangguan Belajar Matematika harus dimulai di awal karir pendidikan anak. Sayangnya, gangguan belajar matematika biasanya tidak ddisadar dan sulit dideteksi cukup dini atau manajemen ditunda sampai masalah lain (misalnya, bahasa cacat) yang ditangani.
  • Banyak anak menganggap matematika sebagai subjek terbatas ketat untuk kelas matematika dan pekerjaan rumah. Remediasi awal dari gangguan belajar matematika sangat penting untuk memastikan pengakuan anak signifikansi matematika ‘tidak hanya di kelas tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan informasi baru tersedia untuk membaca gangguan (RDS), strategi baru yang dirancang untuk pendidik untuk membimbing dan membantu siswa meningkatkan nonperforming tersedia. Pekerjaan masih diperlukan untuk mengidentifikasi masalah dasar dengan gangguan belajar matematika, yang akan membantu menciptakan strategi yang lebih baik untuk membantu anak-anak. Sementara itu, pedoman berikut ditunjukkan untuk membantu anak-anak dengan cacat ini meresap.
  • Perbanyak contoh-contoh konkrit untuk memastikan pemahaman yang kuat sebelum melangkah kepada konsep yang abstrak. Hal ini akan membantu untuk memberikan strategi untuk memvisualisasikan konsep. Ketika mengerjakan soal cerita, berikan kesempatan kepada anak untuk membayangakan situasi kehidupan sehari-hari atau alat yang membantunya memvisualisasikan sebuah bentuk, konsep, atau pola.
  • Berikan kesempatan untuk menggunakan gam bar, grafik, kalimat, atau kartu untuk membantu dalam hal pemahaman soal. Hubungkan permasalahannya dengan contoh kehidupan sehari-hari.
  • Kembangkan sebuah konsep diri bahwa ‘says bias’, sesering mungkin. JANGAN katakan, “Ibu/Ayah tidak pandai matematika, tak heran kamu pun begitu”. Ingatlah, dengan suasana yang baik, (tutoring, one to one support) dan sikap yang positif, semua orang pintar matematika !
  • Gunakan pendekatan yang positif untuk mengenalkan konsep dasar. Kartu atau permainan komputer untuk menguasai konsep awal sampai dengan 20 dan tabel perkalian akan sang at berguna. 10 menit sehari akan berhasil.
  • Berikan bantuan dalam mempelajari simbol-simbol matematika dan bahasa matematika. Contohnya, pikirkan tenting simbol ‘-’ (minus) berarti ‘pergi’ atau ‘hilang’, dan simbol ‘+’ berarti ‘datang’ atau ‘muncul’.Simbol ‘-’ bisa juga berarti ‘mengurangi’, bisa juga pecahan, atau juga bilangan bulat negatif.
  • Remediasi menuntut kerjasama erat antara guru kelas reguler dan mereka yang terlibat dalam mendukung perbaikan. Banyak anak dengan prestasi dalam matematika yang memenuhi syarat untuk secara hukum diamanatkan pelayanan pendidikan khusus di sekolah umum. Perbedaan luas yang diamati dalam persyaratan layanan, dan kualitas dan intensitas pelayanan nyata bervariasi antara masyarakat. Mengidentifikasi cacat dari setiap siswa dan menangani itu di tingkat individu masih penting.
Pedoman remediasi Umum adalah sebagai berikut:
Subkomponen Tertinggal
  • Intervensi pada tingkat subkomponen individu sangat penting
  • Seorang guru, seorang guru kelas reguler atau sumber daya, dan, dalam kondisi tertentu, orang tua dapat membantu pekerjaan siswa pada subkomponen terbelakang tertentu. Konsep ini bagi anak untuk bekerja lebih pada subkomponen terbelakang dari pada mendapatkan jawaban yang benar. Contoh termasuk praktek di bawah pengawasan untuk siswa dengan pengenalan pola yang buruk, yang dirancang untuk mengkaji masalah kata dan untuk mengidentifikasi kata-kata kunci atau pola yang menyarankan prosedur tertentu. Dalam contoh lain, seorang anak yang otomatis mengingat fakta-fakta matematika tertunda harus berlatih mengingat fakta-fakta sesuai waktu yang ditentukan.
  • Bila mungkin, memanfaatkan kekuatan perkembangan anak dan kedekatan wilayah subjek. Sebuah visualisator yang baik harus mempelajari dengan benar masalah diselesaikan dan membuat penggunaan diagram dan bahan grafis lainnya. Seorang anak yang sangat lisan harus belajar matematika dengan mencoba untuk mengajar subjek. Dalam beberapa kasus, penggunaan perangkat lunak pendidikan dapat memfasilitasi pembelajaran pada tingkat subkomponen kekurangan.
Tehnik Bypass
  • Dalam pengaturan kelas reguler, metode pengajaran yang sering diinginkan adalah untuk menghindari komponen tugas kekurangan matematika. Teknik ini memungkinkan memotong anak untuk belajar matematika meskipun kehadiran subkomponen kekurangan. Contohnya termasuk siswa memungkinkan yang lemah mengingat fakta-fakta matematika untuk menggunakan kalkulator ketika memecahkan masalah kata.
  • Waktu dapat digunakan sebagai strategi lain bypass. Siswa dengan otomatisasi tertunda mungkin memerlukan waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan masalah. Strategi bypass untuk para siswa dapat terdiri dari memberi mereka lebih banyak waktu untuk menyelesaikan masalah atau mengharapkan mereka untuk memecahkan masalah sedikit.
Mengajar kehidupan nyata matematika
  • Anak-anak yang memiliki kekurangan komponen terlalu banyak atau yang memiliki kemampuan kurikuler kekurangan memerlukan metode pengajaran yang inovatif konsisten.
  • Kesamaan analisis dan situasi kehidupan nyata adalah contoh metode inovatif yang memungkinkan anak-anak untuk belajar teknik dasar matematika.
Lingkungan
  • Menyediakan lingkungan yang ideal untuk bekerja, dengan sedikit gangguan dan pasokan yang cukup dari alat (misalnya, pensil, penghapus, kertas grafik).
  • Beberapa anak mungkin membutuhkan tutor di luar kelas reguler untuk membantu fokus pada kecacatan anak dan menghindari tekanan kelas.
Manajemen disfungsi perkembangan saraf
  • Kinerja Matematika mungkin terganggu oleh disfungsi perkembangan saraf lainnya (misalnya, attention deficit hyperactivity disorder [ADHD], bahasa cacat). Mengobati masalah ini masing sangat mungkin meningkatkan keterampilan matematika.
  • mode terpilih pelatihan kognitif dapat membantu meningkatkan pembentukan konsep, pemecahan masalah keterampilan, dan, yang paling penting, memori.
Meningkatkan kurikulum
  • Penelitian telah mengungkapkan bahwa, rata-rata, miskin kinerja matematika di Amerika Serikat dapat dikaitkan dengan kurikulum kekurangan dibandingkan dengan kurikulum yang digunakan di negara-negara lain.
  • Dalam analisis mendalam dari kurikulum, bersama dengan penggabungan berbagai menyarankan perubahan baru, mungkin meningkatkan kinerja nasional secara keseluruhan dalam matematika.
Penelitian di masa depan
  • Sebuah gerakan yang berkembang di bidang gangguan belajar matematika mengakui “rasa nomor.”
  • A “fonem” Konsep menunjukkan bahwa pemahaman tentang suara dan huruf membantu mengembangkan strategi bagi pendidik. “Nomor akal” adalah sebuah konsep yang sama.
  • Gersten dkk percaya bahwa ini adalah konsep angka dipelajari pada anak usia dini dan mungkin memainkan peran penting dalam pemahaman tentang pengajaran matematika, terutama untuk anak-anak cacat. Penelitian lebih lanjut diperlukan sebelum pengembangan strategi konkret untuk mencapai tujuan ini.

BAHASA DAN KOMUNIKASI MURID AUTISM

BY.... http://yushazwani.blogspot.com
Pengenalan

Masalah bahasa dan komunikasi seringkali terjadi pada kanak-kanak yang berkategori kanak-kanak khas. Antara contoh kanak-kanak yang akan mengalami masalah bahasa dan komunikasi ini adalah seperti kanak-kanak sindrom sown, cerebral palsi, autisme dan lain –lain lagi. Masalah bahasa adalah ketidakupayaan seorang kanak-kanak seorang kanak-kanak menguasai kemahiran berbahasa yang terdiri daripada lima komponen iaitu fonologi, morfologi , sintaksis , semantik dan pragmatik. Manakala masalah komunikasi pula terjadi apabila terdapat satu penyimpanan daripada pendengaran pertuturan atau bahasa yang normal mengganggu komunikasi. Contohnya adalah seperti kesengauan dan juga gagap di kalangan kanak-kanak.

Bagi artikel kali ini saya akan mengutarakan beberapa masalah bahasa dan komunikasi yang dihadapi oleh kanak-kanak autisme. Sebelum kita mengetahui masalah bahasa dan komunikasi kanak-kanak autisme ini eloklah dulu jika kita mengetahui apakah yang dimaksudkan dengan kanak-kanak autisme ini.

Menurut istilah.Autisme berasal dari perkataan autos iaitu diri sendiri dan isme yang bermaksud aliran. Jadi dalam erti kata lain kanak-kanak autisme diertikan sebagai kanak-kanak yang berada dalam dunianya sendiri. Oleh sebab itu, jika kita lihat kanak-kanak ini sukar didekati dan berkomunikasi secara verbal.  Hal ini kerana, seperti yang sedia maklum, kanak-kanak autism adalah merupakan seorang kanak-kanak yang sukar untuk didekati kerana sikapnya yang suka untuk bersendirian. Autism merupakan salah satu daripada kecacatan yang kadangkala dipanggil “ pervasive developmental disorders” ataupun autisme spectrum. Walaupun symptom autism berbeza, namun terdapat beberapa perwatakan yang biasa. Ini termasuklah, kelemahan interaksi sosial yang seperti saya telah katakan tadi. Perbezaan dalam hubungan sosial kemungkinan ciri yang paling menonjol dalam spectrum disorders. Kanak-kanak ini kebiasaannya sukar memberi respons kepada ibubapa ataupun penjaga yang lain.

 Anggaran menunjukkan bahawa sesetengah daripada mereka tidak faham apa yang dipertuturkan.(Rutter and Shoppler, 1987) . Kesukaran komunikasi dan berbahasa adalah bukti bagi kebanyakan kanak-kanak yang mengalami autism dan ini berlanjutan sehingga dewasa. Selain itu juga, kanak-kanak autism sering berkelakuan aneh dan berbeza berbanding budak normal yang lain. Kanak-kanak ini sering dianggap berkelakuan pelik seperti suka memukul kepala mereka, menepuk tangan dan membuat apa saja yang mereka suka. Mereka juga akan merasa sedih jika terdapat sesuatu yang berlainan daripada asal.(Puttar& Schopler, 1987).

Antara sebab-sebab yang menyebabkan autism ini ialah disebabkan faktor genetik. Selain itu ada juga mencadangkan kecacatan dalam sistem otak mungkin menyebabkan kesukaran dalam memproses maklumat dan kelakuan streotaip pada kanak-kanak autism.(Tanguny&Edwards,1992). Folstein &Rutter (1988) pula mengatakan punca autism adalah organic daripada psikososial. Mungkin ini sahaja yang dikatakan mengenai autism, namun punca sebenar untuk autism masih belum diketahui. Seterusnya, saya akan mula membincangkan mengenai kajian kes mengenai kanak-kanak autism yang telah saya kaji semasa mengikuti program PBS yang lalu. Berikut adalah merupakan hasil dapatan yang saya perolehi. (rujuk kajian kes di bawah)

LAPORAN PEMERHATIAN

Kategori dan ciri-ciri.

Aiman ( bukan nama sebenar) adalah merupakan kanak-kanak yang dikategorikan sebagai kanak-kanak autisme. Dari aspek fizikal, kanak-kanak ini mempunyai ciri-ciri fizikal yang kemas dan menarik. Kanak-kanak ini juga mempamerkan ciri-ciri kebersihan yang sesuai dengan tahap umurnya. Tidak seperti kanak-kanak normal yang lain, Aiman didapati lebih suka untuk bersendirian dan tidak gemar untuk bersosial dengan rakan-rakan sekelasnya. Hal ini jelas menunjukkan Aiman lebih suka untuk melakukan sesuatu aktiviti secara sendirian.


Selain itu, Aiman juga seringkali melakukan aktiviti yang disukainya iaitu memperbetulkan stokin. Boleh dikatakan setiap 5 minit Aiman akan sentiasa memperbetulkan stokin dengan menarik ke atas. Selepas itu, Aiman akan mula termenung dan mengomel secara bersendiriannya. Dari segi aktiviti bermain, didapati Aiman tidak berapa memberi tumpuan terhadap aktiviti bermain yang dilakukan. Ini mungkin disebabkan aktiviti bermain seperti bermain bola tidak menjadi aktiviti yang digemari oleh beliau. Dari pengamatan saya, Aiman hanya menggemari permainan puzzle, jadi tidak hairan sekiranya Aiman boleh bermain puzzle dengan sendirian dan boleh menyiapkan dengan lebih cepat berbanding rakan-rakan yang lain.Selain itu, semasa melaksanakan aktiviti pembelajaran, didapati Aiman juga sukar untuk menyiapkan tugasan yang diberikan kepadanya. Ini kerana tumpuan yang diberikan tidak lama.

 
Bahasa dan komunikasi

Melalui pemerhatian saya, Aiman boleh menuturkan beberapa perkataan dengan jelas namun perbendaharaan kata yang dimiliki adalah sangat terhad. Ini mungkin adalah disebabkan beberapa faktor. Pertama sekali adalah disebabkan sikap antisosial Aiman yang ditunjukkan oleh kanak-kanak ini. Apabila ini berlaku maka pertukaran bahasa dengan kekerapan yang tinggi tidak akan berlaku. Dalam erti kata lain, Aiman mungkin tidak mendapat perkataan atau lambang bahasa baru disebabkan sikapnya yang lebih suka bersendirian.

Selain itu, sikapnya yang tidak memberi tumpuan semasa proses pembelajaran dan pengajaran juga menyebabkan Aiman mungkin tidak dapat menguasai perbendaharaan kata yang baru. Dari segi fonologi bagaimana pun Aiman dapat menuturkan bunyi bahasa dengan baik.

Semasa pemerhatian saya juga,didapati kanak-kanak ini seringkali membunyikan sesuatu yang agak kurang difahami terutama sekali jika kanak-kanak ini bersendirian. Dalam erti kata yang lain “bubling” juga merupakan salah satu aspek yang terdapat kepada pencirian kanak-kanak ini. Kanak-kanak ini juga didapati lebih suka bernyanyi dan bercakap bersendirian. Ini menunjukkan bahawa kanak-kanak ini hanya akan berkomunikasi dengan rancak dengan dunia sendirinya sahaja.

Dalam aspek pertuturan juga, kanak-kanak ini tidak dapat mengungkapkan ayat yang panjang. Ini adalah disebabkan faktor bahasanya yang terhad tadi. Seperti kanak-kanak normal yang lain, Aiman juga mengalami echolalia iaitu jenis “delayed echolalia”. Sebagai contoh semasa proses pembelajaran, Aiman tidak akan menumpukan perhatian sebaliknya akan bermain dan melalukan aktiviti yang disukainya iaitu membetulkan stokinnya. Kanak-kanak ini juga tidak akan menghiraukan arahan yang dikeluarkan oleh guru kelasnya,namun, setelah tamat proses pembelajaran Aiman akan secara spontan menyebut beberapa perkataan yang telah diungkapkan oleh gurunya tadi.

Dari aspek komunikasi, Aiman merupakan kategori yang agak sukar untuk berkomunikasi dengannya. Ini adalah disebabkan sikapnya yang lebih menyendiri dan tidak akan menumpukan apa jua yang akan diperkatakan oleh kita kepadanya. Walaupun kita masih mendapatkan “eye contact” dengannya, namun hanya beberapa seketika sahaja. Seterusnya Aiman akan terus mengelamun dan pergi ke tempat yang lain. Jadi, proses komunikasi bersama Aiman agak sukar. Akibat daripada ini, maka proses pertukaran maklumat dengan Aiman tidak dapat berlaku . Jadi untuk mengetahui dan memahami kehendak Aiman akhirnya menjadi agak sukar.

Dari aspek non verbal Aiman juga mempamerkan beberapa contoh mimik muka sebagai bahasa isyarat yang dikeluarkan olehnya. Sebagai contoh sekiranya dia mula hilang tumpuan, Aiman akan mula mempamerkan raut wajah yang menunjukkan dia sudah jemu seperti mencebik. Selain itu, Aiman juga akan menggelengkan kepala untuk membantah dan tidak mahu melakukan sesuatu arahan kepadanya.

Melalui pemerhatian saya juga, Aiman juga mengalami masalah untuk menaksirkan mesej atau pun kod bahasa. Ini kerana, untuk bertutur dan memberi arahan kepada Aiman, kita perlu menunjukkan beberapa contoh sebagai tunjuk ajar. Sebagai contoh, untuk menyuruh Aiman memasukkan bola dalam bakul, Aiman kelihatan agak lambat untuk menaksirkan arahan yang disuruh, jadi contoh secara realistik perlu ditunjukkan dan diajar kepada kanak-kanak ini.



Analisis masalah bahasa dan komunikasi (kekuatan dan kelemahan)

Jika dianalisis masalah bahasa dan Aiman ini, kita boleh bahagikan kepada masalah dalam fonologi, sintaksis,morfologi, pragmatik dan semantik. Manakala dari segi komunikasi, Aiman lebih gemar untuk berkomunikasi secara non verbal kepada orang ramai. Di sini terdapat kekuatan dan kelemahan yang terdapat dalam setiap aspek seperti yang dinyatakn seperti tadi. Jadi saya akan membincangkan kelemahan dan kekuatan bagi setiap aspek itu.

Fonologi.

Dalam aspek fonologi, kekuatan yang dimiliki oleh Aiman ialah, Aiman dapat menuturkan beberapa bunyi dengan jelas. Namun begitu, terdapat beberapa kelemahan yang ditunjuk oleh Aiman terutama sekali nada yang dikeluarkan oleh Aiman semasa mengeluarkan bunyi. Didapati, kadang-kala Aiman akan mengeluarkan perkataan mengikut nada yang berbeza-beza iaitu dari rendah ke tinggi secara tiba-tiba. Kadangkala perbuatan ini menimbulkan sedikit kekeliruan mengenai apa yang ingin disampaikan oleh Aiman. Dalam erti kata yang lain, kanak-kanak ini tidak dapat mengawal nada dan jeda yang dipertuturkan. Selain itu, kadangkala kanak-kanak ini juga kelihatan bernyanyi apabila ingin menuturkan sesuatu. Hal ini jelas menunjukkan kanak-kanak ini mengalami masalah dalam suprasegmental.

Menurut (Goldfarb, Braunstein & Horge, 1956) individu yang mengalami autism seringkali mempunyai masalah luahan yang rendah dalam suara dan bercakap dalam “ekanada”. (Fag &Schuler,1980) pula menyatakan bahawa individu autisme ini mempunyai masalah luahan suara disebabkan oleh ketidakupayaan memproses cirri-ciri suprasegmental dalam pertuturan. Namun begitu, kekuatan yang boleh digunakan oleh kanak-kanak ini ialah, kelebihan kanak-kanak untuk bernyanyi.

Menurut guru kelasnya, Aiman pernah menjadi johan dalam juara nyanyian di kalangan pelajar pendidikan khas. Hal ini menunjukkan walaupun kelemahan Aiman ini boleh memberi tafsiran dan makna yang negatif namun kelebihan yang ada dapat digunakan oleh Aiman untuk mengasah bakatnya yang terpendam itu.

Sintaksis

Dari aspek pembinaan ayat, didapati Aiman tidak dapat menuturkan ayat dengan panjang. Aiman juga hanya boleh bertutur secara ringkas dan pendek sahaja. Sebagai contoh, jika kita hanya menanyakan adakah Aiman ingin mandi, Aiman hanya menjawab “tak nak” sambil menggeleng. Di samping itu, jika kita cuba berkomunikasi secara bertutur dengannya, kanak-kanak ini tidak akan mengeluarkan perkataan dengan baik. Seolah-olah kanak-kanak ini tidak tahu berbahasa walaupun hakikatnya kanak-kanak ini jika bertutur, kita dapat memahami sebutannya itu.Faktor yang menjurus ini mungkin disebabkan oleh kekurangan bahasa dan kecelaruan yang berlaku dalam sistem bahasa dalam diri kanak-kanak ini. Dalam erti kata yang lain, pertuturan kanak-kanak ini kelihatan agak kompleks dan sukar untuk kita dekati supaya bertutur dengan kita lebih jelas.

Bartak, Rutter & Cox(1975) membandingkan perkembangan sintaksis pada diri kanak-kanak autisme dan dysphasia(kecacatan bahasa khusus). Mereka mendapati walaupun kanak-kanak tersebut lebih kepada ukuran maksud pengucapan, namun kanak-kanak autism menunjukkan reaksi yang lebih teruk dalam ujian pemahaman bahasa. Mereka juga mendapati kesukaran pertuturan kanak-kanak autism lebih luas, melibatkan penggunaan dan pemahaman isyarat dan penulisan di samping bahasa yang dipertuturkan.

Akan tetapi, walaupupun kanak-kanak ini tidak dapat membuat ayat dengan baik, kanak-kanak masih lagi dapat memberi beberapa perkataan yang masih jelas dan boleh dimengertikan
Morfologi.

Dari segi bidang morfologi, kanak-kanak ini dapat menggantikan kata ganti nama nya dengan menamakan dirinya sebagai Aiman. Aiman juga dapat menggantikan namanya sebagai saya. Namun dari kelemahan aspek morfologi pula, Aiman didapati tidak tahu untuk menuturkan perkataan yang berimbuhan. Disebabkan itulah, Aiman hanya sedikit bertutur. Ini membuktikan bahawa perkembangan bahasa Aiman tidak banyak dan tidak sama dengan kanak-kanak normal lain.

Dalam satu kajian (Fein & Waterhouse, 1979) jika dibandingkan hasil morfologi kanak-kanak autisme dalam perkembangan skizofernia( sejenis penyakit jiwa) dan kanak-kanak tidak upaya , didapati tiada perbezaan yang ketara sama ada yang berkenaan dengan jumlah angka “morphemes” yang digunakan dengan kekerapan penggunaan “morphemes” .

 
Semantik

Dari segi semantik, seperti kanak-kanak yang lain, kanak-kanak ini juga mempunyai bahasanya tersendiri iaitu bahasa idiosinkratik. (Volden & Lord ,1991), mendefinisikan bahasa idiosinkratik sebagai penggunaan ayat atau frasa dalam keadaan berbeza untuk menyampaikan maksud yang spesifik.

Tidak seperti kanak-kanak yang normal,jika Aiman mengelamun, beliau seringkali mengeluarkan bunyi yang sukar untuk difahami. Walaupun begitu, bahasa ini hanya difahami oleh kanak-kanak ini sahaja. Oleh itu, kekuatan bahasa idiosinkratik ini sebenarnya boleh menjadi satu medium bagi Aiman untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Sebagai contoh, bagi mengingati suatu frasa atau perkataan yang diajar, Aiman mungkin mengeluarkan bunyi yang berbeza walaupun maksudnya sama. Maknanya di sini, mungkin “saya” bagi Aiman ialah kamu. Walaupun dari sudut negatif kita melihat perkara ini mungkin menimbulkan kecelaruan tetapi dari sudut positifnya kita mungkin boleh mengajar Aiman mengikut perspektif yang difahaminya. Apa yang penting makna bahasa itu adalah betul walaupun ujaran yang dihasilkan berbeza,

 
Pragmatik.

Dari segi pragmatik, Aiman merupakan seorang penutur yang pasif. Seperti yang diperbincangkan tadi, disebabkan sikapnya yang antisosial maka Aiman tidak dapat berkomunikasi secara spontan dan seterusnya menghasilkan komunikasi yang lemah dengan individu yang lain. Dari segi kekuatan, Aiman didapati boleh berkomunikasi dengan bahasanya iaitu bahasa idiosinkratik. Jadi ini menjelaskan Aiman mempunyai keunikan tersendiri. Semasa pengamatan saya, matanya akan terpejam secara tiba-tiba ataupun terkebil jika berbahasa dengan secara sendirinya. Kita sebagai pendidik seharusnya harus cuba memahami isyarat dan mesej yang ingin disampaikan bagi memudahkan kita untuk melakukan proses pembelajaran dan pengajaran

Saturday, 21 September 2013

GAGAP

Stuttering

What is stuttering?
Stuttering affects the fluency of speech. It begins during childhood and, in some cases, lasts throughout life. The disorder is characterized by disruptions in the production of speech sounds, also called "disfluencies." Most people produce brief disfluencies from time to time. For instance, some words are repeated and others are preceded by "um" or "uh." Disfluencies are not necessarily a problem; however, they can impede communication when a person produces too many of them.
In most cases, stuttering has an impact on at least some daily activities. The specific activities that a person finds challenging to perform vary across individuals. For some people, communication difficulties only happen during specific activities, for example, talking on the telephone or talking before large groups. For most others, however, communication difficulties occur across a number of activities at home, school, or work. Some people may limit their participation in certain activities. Such "participation restrictions" often occur because the person is concerned about how others might react to disfluent speech. Other people may try to hide their disfluent speech from others by rearranging the words in their sentence (circumlocution), pretending to forget what they wanted to say, or declining to speak. Other people may find that they are excluded from participating in certain activities because of stuttering. Clearly, the impact of stuttering on daily life can be affected by how the person and others react to the disorder.
What are signs and symptoms of stuttering?
Stuttered speech often includes repetitions of words or parts of words, as well as prolongations of speech sounds. These disfluencies occur more often in persons who stutter than they do in the general population. Some people who stutter appear very tense or "out of breath" when talking. Speech may become completely stopped or blocked. Blocked is when the mouth is positioned to say a sound, sometimes for several seconds, with little or no sound forthcoming. After some effort, the person may complete the word. Interjections such as "um" or "like" can occur, as well, particularly when they contain repeated ("u- um- um") or prolonged ("uuuum") speech sounds or when they are used intentionally to delay the initiation of a word the speaker expects to "get stuck on."
Some examples of stuttering include:
  • "W- W- W- Where are you going?" (Part-word repetition: The person is having difficulty moving from the "w" in "where" to the remaining sounds in the word. On the fourth attempt, he successfully completes the word.)
  • "SSSS ave me a seat." (Sound prolongation: The person is having difficulty moving from the "s" in "save" to the remaining sounds in the word. He continues to say the "s" sound until he is able to complete the word.)
  • "I'll meet you - um um you know like - around six o'clock." (A series of interjections: The person expects to have difficulty smoothly joining the word "you" with the word "around." In response to the anticipated difficulty, he produces several interjections until he is able to say the word "around" smoothly.)
How is stuttering diagnosed?
Identifying stuttering in an individual's speech would seem like an easy task. Disfluencies often "stand out" and disrupt a person's communication. Listeners can usually detect when a person is stuttering. At the same time, however, stuttering can affect more than just a person's observable speech. Some characteristics of stuttered speech are not as easy for listeners to detect. As a result, diagnosing stuttering requires the skills of a certified speech-language pathologist (SLP).
During an evaluation, an SLP will note the number and types of speech disfluencies a person produces in various situations. The SLP will also assess the ways in which the person reacts to and copes with disfluencies. The SLP may also gather information about factors such as teasing that may make the problem worse. A variety of other assessments (e.g., speech rate, language skills) may be completed as well, depending upon the person's age and history. Information about the person is then analyzed to determine whether a fluency disorder exists. If so, the extent to which it affects the ability to perform and participate in daily activities is determined.
For young children, it is important to predict whether the stuttering is likely to continue. An evaluation consists of a series of tests, observations, and interviews designed to estimate the child's risk for continuing to stutter. Although there is some disagreement among SLPs about which risk factors are most important to consider, factors that are noted by many specialists include the following:
  • a family history of stuttering
  • stuttering that has continued for 6 months or longer
  • presence of other speech or language disorders
  • strong fears or concerns about stuttering on the part of the child or the family
No single factor can be used to predict whether a child will continue to stutter. The combination of these factors can help SLPs determine whether treatment is indicated.
For older children and adults, the question of whether stuttering is likely to continue is somewhat less important, because the stuttering has continued at least long enough for it to become a problem in the person's daily life. For these individuals, an evaluation consists of tests, observations, and interviews that are designed to assess the overall severity of the disorder. In addition, the impact the disorder has on the person's ability to communicate and participate appropriately in daily activities is evaluated. Information from the evaluation is then used to develop a specific treatment program, one that is designed to:
  • help the individual speak more fluently,
  • communicate more effectively, and
  • participate more fully in life activities.
What treatments are available for stuttering?
Most treatment programs for people who stutter are "behavioral." They are designed to teach the person specific skills or behaviors that lead to improved oral communication. For instance, many SLPs teach people who stutter to control and/or monitor the rate at which they speak. In addition, people may learn to start saying words in a slightly slower and less physically tense manner. They may also learn to control or monitor their breathing. When learning to control speech rate, people often begin by practicing smooth, fluent speech at rates that are much slower than typical speech, using short phrases and sentences. Over time, people learn to produce smooth speech at faster rates, in longer sentences, and in more challenging situations until speech sounds both fluent and natural. "Follow-up" or "maintenance" sessions are often necessary after completion of formal intervention to prevent relapse.
What can I do to communicate better with people who stutter?
Often, people are unsure about how to respond when talking to people who stutter. This uncertainty can cause listeners to do things like look away during moments of stuttering, interrupt the person, fill in words, or simply not talk to people who stutter. None of these reactions is particularly helpful, though. In general, people who stutter want to be treated just like anybody else. They are very aware that their speech is different and that it takes them longer to say things. Unfortunately, though, this sometimes leads the person to feel pressure to speak quickly. Under such conditions, people who stutter often have even more difficultly saying what they want to say in a smooth, timely manner. Therefore, listeners who appear impatient or annoyed may actually make it harder for people who stutter to speak.
When talking with people who stutter, the best thing to do is give them the time they need to say what they want to say. Try not to finish sentences or fill in words for them. Doing so only increases the person's sense of time pressure. Also, suggestions like "slow down," "relax," or "take a deep breath" can make the person feel even more uncomfortable because these comments suggest that stuttering should be simple to overcome, but it's not!
Of course, different people who stutter will have different ways of handling their speaking difficulties. Some will be comfortable talking about it with you, while others will not. In general, however, it can be quite helpful to simply ask the person what would be the most helpful way to respond to his or her stuttering. You might say something like, "I noticed that you stutter. Can you tell me how you prefer for people to respond when you stutter?" Often, people will appreciate your interest. You certainly don't want to talk down to them or treat them differently just because they stutter. However, you can still try to find a matter-of-fact, supportive way to let them know that you are interested in what they are saying, rather than how they're saying it. This can go a long way toward reducing awkwardness, uncertainty, or tension in the situation and make it easier for both parties to communicate effectively.
What other organizations have information about stuttering?
This list is not exhaustive and inclusion does not imply endorsement of the organization or the content of the Web site by ASHA.
What causes stuttering?
The exact cause of stuttering is unknown. Recent studies suggest that genetics plays a role in the disorder. It is thought that many, if not most, individuals who stutter inherit traits that put them at risk to develop stuttering. The exact nature of these traits is presently unclear. Whatever the traits are, they obviously impair the individual's ability to string together the various muscle movements that are necessary to produce sentences fluently.
Not everyone who is predisposed to stutter will develop the disorder. For many, certain life events are thought to "trigger" fluency difficulty. One of the triggers for developmental stuttering may be the development of grammar skills. Between the ages of 2 and 5 years, children learn many of the grammatical rules of language. These rules allow children to change immature messages ("Mommy candy") into longer sentences that require coordination to produce fluently ("Mommy put the candy in my backpack"). A child who is predisposed to stutter may have no difficulty speaking fluently when sentences are only one or two words long. However, when the child starts trying to produce longer, more complex sentences, he or she may find himself or herself not quite up to the challenge-and disfluent speech results.
After stuttering has started, other factors may cause more disfluencies. For example, a child who is easily frustrated may be more likely to tighten or tense speech muscles when disfluencies occur. Such tension may increase how long a disfluency lasts. Listeners' responses to stuttering (e.g., teasing) can aggravate fluency difficulties as well. People who stutter vary widely in how they react to the disfluencies in their speech. Some appear to be minimally concerned. Others-especially those who have encountered unfavorable reactions from listeners-may develop emotional responses to stuttering that hinder speech production further. Examples of these emotions include shame, embarrassment, and anxiety.
How common is stuttering and when does it typically start?
Usually, the symptoms of developmental stuttering first appear between the ages of 2½ and 4 years. Although less common, stuttering may start during elementary school. Stuttering is more common among males than females. Among elementary school-age children, it is estimated that boys are three to four times more likely to stutter than girls. Preschoolers may show little or no awareness of their speech difficulties, particularly during the early stages of the problem. Throughout the school years and beyond, however, most people who stutter become increasingly aware of their speech difficulties and how others react when they do not speak fluently.
The development of stuttering varies considerably across individuals. Some children show significant difficulty with speech fluency within days or weeks of onset. Others show a gradual increase in fluency difficulties over months or years. Furthermore, the severity of children's stuttering can vary greatly from day to day and week to week. With some children, the disfluencies may appear to go away for several weeks, only to start again for no apparent reason. For teens and adults who stutter, the symptoms of stuttering tend to be more stable than they are during early childhood. Still, teen and adult speakers may report that their speech fluency is significantly better or worse than usual during specific activities.
About 75% of preschoolers who begin to stutter will eventually stop. Many children who "recover" from stuttering do so within months of the time their stuttering started. Nonetheless, there are some people who have stuttered for many years and then improve. Why some people recover is unclear, and it is not possible to say with certainty whether the stuttering symptoms for any particular child will continue into adulthood. Children's recovery from stuttering may happen when they receive speech therapy. The role of speech therapy in the recovery process needs to be studied further, however, because some preschoolers appear to recover without ever having seen an SLP. It is hoped that, with continued research, SLPs will someday be able to precisely answer questions about why and how recovery takes place, both with and without speech therapy.
How effective are treatments for stuttering?
ASHA produced a treatment efficacy summary on stuttering [PDF] that describes evidence about how well treatment works. This summary is useful not only to individuals who stutter and their caregivers but also to insurance companies considering payment for much needed services for stuttering.
What do SLPs do when working with individuals who stutter?
SLPs work to help people who stutter lessen the impact or severity of disfluency when it occurs. The goal is not so much to eliminate disruptions in fluency-which many people find difficult to do-but to minimize their impact upon communication when they do occur. People may be taught to identify how they react to or cope with breaks in speech fluency. They learn other reactions that will lead to fluent speech and effective communication. For instance, a person who often produces long, physically tense disfluencies would learn to modify these disfluencies so that they become fleeting, relatively effortless breaks in speech. As people become better at managing fluency in therapy, they practice the newly learned skills in real-life situations.
People usually find that these behavioral strategies are relatively easy to implement during therapy activities. In contrast, people may find that day-to-day fluency management-at least in the early stages of treatment-is hard work! Use of the various fluency management techniques requires mental effort. It is one thing to manage or monitor speech rate in a quiet, controlled setting like a therapy room, but quite another in a noisy, fast-paced office or classroom. For this reason, SLPs often work with family members, teachers, and others on what to expect from therapy. Generally, it is not reasonable to expect that a person who stutters will be able to monitor or control his speech fluency at all times of the day in all situations.
Traditionally, there has been some reluctance to treat stuttering during the preschool years. This reluctance has stemmed from at least two sources: the observation that many children "outgrow" stuttering, and the belief that therapy heightens a child's awareness of fluency difficulty which in turn increases the child's risk for persistent stuttering. Current thinking is somewhat different from these traditional views, however. It is now generally agreed that early intervention for stuttering is desirable. That said, an SLP still may recommend a "wait and see" approach for children who have been stuttering for only a few months and who otherwise appear to be unconcerned and at low risk for persistent stuttering. If treatment is recommended for preschoolers, the approaches taken usually are somewhat different from those used with older children and adults. For example, parents may be trained to provide youngsters with feedback about their speech fluency, praising the fluent speech ("That was very smooth!"), and occasionally highlighting instances of disfluent speech ("That sounded a little bumpy"). Parents and/or SLPs may model smooth speech. SLPs teach parents when, where, and how to implement these treatments. Recent research suggests that intervention programs like these are quite effective at reducing, if not eliminating, the symptoms of stuttering with preschoolers.
In addition to the approaches described above, a variety of assistive devices have been developed to help those who stutter speak more smoothly. Most of these assistive devices alter the way in which an individual hears his or her voice while speaking. The devices often are small, so that they fit in or behind a speaker's ear. Laboratory research suggests that some individuals who stutter speak more fluently when they hear their voice played back to them at a slight delay or at a higher or lower pitch, or when "white noise" is played into their ear as they speak. How effective these devices are in real-life settings continues to be studied. Early findings suggest that some people find some auditory feedback devices very helpful, while others do not. Research is ongoing to identify:
  • why some people benefit from the devices more than others
  • whether the devices can be made to be more effective
  • how much improvement one might expect in fluency when a device is used either alone or with speech therapy
  • whether the benefits last over time
More information on the role of the SLPis available:
In addition to treatment provided by SLPs, some people who stutter have found help dealing with their stuttering through stuttering self-help and support groups. In general, stuttering support groups are not therapy groups. Instead, they are groups of individuals who are facing similar problems. These individuals work together to help themselves cope with the everyday difficulties of stuttering.
Many such groups exist around the world. In the United States stuttering support groups have a long-standing and strong tradition of helping people overcome the burden of stuttering. Support groups often have local chapters that consist of anywhere from a few to a few dozen members who meet regularly (e.g., weekly or monthly) to discuss issues related to their stuttering. Some groups also have e-mail lists and chat rooms, newsletters and books, and annual conferences that bring together hundreds of people who stutter and their families.
Many support group members report that their experiences in the support group improve their ability to use techniques learned in therapy. Others report that the support group meets needs that their formal speech therapy did not meet. Thus, many people benefit from participating in treatment provided by an SLP and a stuttering support group. Indeed, most support groups have developed strong partnerships with the speech-language pathology community to promote and expand treatment options for people who stutter.